Lompat ke konten

Haruskah Bertahan Dengan Suami Yang Kasar? Ini Cara Menyikapinya

Haruskah Bertahan Dengan Suami Yang Kasar

Dalam sebuah pernikahan, tentu pertengkaran adalah hal yang biasa. Sebab, pernikahan adalah sebuah institusi yang menyatukan dua insan dengan kondisi biologis, ego, keluarga dan perilaku yang berbeda. Namun tentu saja pertengkaran juga ada batasnya. 

Buya Yahya dalam akun YouTube al Bahjah TV menyampaikan bahwa sebaiknya perselisihan dalam rumah tangga itu ditanggapi dengan bijaksana. Beliau menyebutkan bahwa laki-laki tidak boleh bersikap kasar terhadap istri apapun masalah dengan istri tersebut. Bahkan, ketika istri melakukan hal yang tidak disukai suami, suami wajib menasihatinya, mendiamkan dan memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakiti. Tiga hal ini dilakukan secara bertahap. Baru ketika pukulan tidak bisa, maka istri bisa diceraikan. 

Lalu, bagaimana jika suami tidak melakukan empat tahap di atas dan justru langsung bersikap kasar terhadap istri (baik verbal maupun fisik)? Berikut ini beberapa hal yang bisa Anda lakukan:

1. Tetap Tenang

Langkah pertama yang sebaiknya Anda lakukan ketika suami bersikap kasar adalah tetap tenang. Sikap tenang ini akan membantu Anda untuk mencegah konflik yang lebih besar lagi yang bisa diakibatkan jika Anda membalas balik. 

Meskipun tenang, namun sebaiknya Anda juga memikirkan penyebab suami bersikap sedemikian rupa. Sebab, bisa jadi suami marah karena menjadikan Anda pelampiasan rasa lelahnya, atau memang karena Anda melakukan kesalahan, sehingga membuatnya murka. 

2. Dengarkan dan Diskusikan

Berikan waktu selama beberapa saat supaya amarahnya bisa reda. Lalu diskusikan permasalahan yang terjadi dengan kepala dingin. Dari sini, Anda tidak hanya bisa mempelajari apa saja masalah yang dihadapi oleh suami Anda, tetapi juga bagaimana cara dia dalam mengatasi masalah tersebut. 

Hasil diskusi ini bisa Anda jadikan pelajaran untuk menghadapi kemarahannya berikutnya. Sebaliknya, jika sikap kasar suami Anda memang disebabkan oleh sikap Anda dan sikap tersebut bisa dirubah, maka lakukan introspeksi dan perbaikan diri.

3. Beri Waktu Sendiri

Apabila setelah diskusi masih belum ditemukan solusinya, maka langkah selanjutnya yang bisa Anda lakukan adalah memberinya waktu sendiri. Sebab, ada kalanya orang memang membutuhkan waktu sendiri untuk meredakan emosi dan menemukan sumber masalah dari emosinya. 

4. Tentukan Batasan yang Tegas

Batasan yang tegas dibutuhkan supaya Anda tahu kapan harus mengambil sikap. Batasan ini bisa berupa durasi waktu Anda membiarkannya sendiri, tetapi juga bisa berupa batasan sejauh mana sikapnya bisa Anda toleransi. 

Seperti yang kita tahu bahwasanya kekerasan fisik tidak hanya bisa melukai seorang istri, tetapi juga mengambil nyawanya. Sementara, kekerasan verbal dapat mempengaruhi konsep dirinya sepanjang hidup. Oleh sebab itu, tentukan batasan ini supaya Anda tidak terjebak dalam toxic relationship. 

5. Konsultasi ke Profesional

Salah satu langkah nyata yang bisa Anda lakukan jika suami bersikap kasar dan Anda masih ingin mempertahankan pernikahan adalah dengan berkonsultasi kepada tenaga profesional, baik itu psikolog maupun konsultan pernikahan. Anda bisa melakukannya secara offline jika tersedia di dekat tempat tinggal Anda, maupun online jika Anda tinggal di daerah. 

6. Melapor ke Pihak yang Berwajib

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) telah menghadirkan hotline resmi untuk menampung aduan perempuan korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Langkah ini bisa Anda lakukan sekiranya penerapan langkah ke-5 di atas tidak memberikan dampak. Anda bisa menghubungi hotline tersebut di tautan berikut ini:

Komnas Perempuan

Selain kepada Komnas Perempuan, Anda juga bisa melapor ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) daerah tempat tinggal Anda. Lembaga ini akan membantu Anda untuk membuat surat keterangan KDRT di Kepolisian dan membantu Anda mengurus perceraian. Perlu diingat bahwasanya bisa jadi dalam tahap ini Anda akan diwawancarai dan diminta untuk melakukan visum. 

7. Meminta Bantuan Keluarga dan Mengajukan Cerai Mandiri

Apabila langkah ke-6 dirasa percuma, maka Anda bisa melakukan langkah ke-7 ini. Langkah ini diperlukan supaya Anda bisa keluar dari hubungan toxic dengan suami Anda. Hal ini termasuk jika suami Anda tidak melakukan kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan verbal. 

Namun, terdapat beberapa hal yang perlu Anda pikirkan sebelum mengambil keputusan ini, yaitu:

  1. Anak. Memang tidak seharusnya anak menjadi penghalang Anda untuk memutus rantai hubungan toksik dengan suami Anda, namun pikirkan juga mengenai nafkah dan bagaimana cara membuat anak mengerti mengenai sikap yang Anda ambil dan bagaimana cara supaya dia tetap bisa berkomunikasi secara baik-baik dengan ayah kandungnya. 
  2. Nafkah. Seringkali ketakutan mengenai nafkah juga membuat perempuan enggan untuk memutus hubungan yang toksik. Namun Anda perlu ingat bahwasanya masih ada sanak saudara dan orang tua yang siap membantu Anda dalam hal ini. Pikirkan baik-baik mengenai cara mendapatkan nafkah pasca bercerai. Khususnya jika Anda sudah memiliki anak. 

Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap Anak

Banyak wanita yang memilih bertahan dalam rumah tangga yang penuh kekerasan karena mereka berpikir bahwa anak membutuhkan orang tua yang utuh. Memang, anak membutuhkan orang tua yang utuh, tetapi mereka juga lebih membutuhkan orang tua yang damai. 

Berikut ini beberapa dampak psikologis terhadap anak yang tumbuh di keluarga KDRT:

  1. Gangguan kecemasan. Melihat orang tuanya sering bertengkar atau melihat salah satu orang tuanya dipukuli bisa membuat si kecil memiliki gangguan kecemasan. Tidak jarang juga mereka akan mengira kalau kekerasan tersebut disebabkan oleh dirinya. Akibatnya, mereka tumbuh menjadi individu yang rendah diri juga. 
  2. Stres. Meskipun “hanya” menyaksikannya saja, namun KDRT tetap bisa menimbulkan stres pada anak. Stres ini kemudian bisa terwujud dalam pola makan yang tidak menentu, emosi yang meledak-ledak dan tidak stabil, susah berkonsentrasi, hingga perilaku-perilaku menyimpang di sekolah. 
  3. Susah menjalin hubungan. Adanya ketakutan akan membuat kekerasan yang serupa atau mengalami kekerasan yang serupa dengan masa kecilnya, membuat si kecil susah menjalin hubungan karena tidak percaya dengan dirinya sendiri atau tidak percaya dengan orang lain.
  4. Depresi. Gangguan kecemasan ditambah dengan stres dan trust issue bisa membuat si kecil depresi ketika dewasa. 

Oleh sebab itu, seberapa keraspun pertengkaran Anda dengan pasangan, pastikan anak tidak melihat atau mendengarnya. Selain itu, apabila memang sikap kasar suami Anda dirasa sudah melebihi batas, anak tidak seharusnya menjadi kendala untuk memisahkan diri, dan bahkan justru menjadi pemicu. Sebab, walau bagaimanapun, Anak tetap membutuhkan rumah yang aman dan tentram serta orang tua yang menyenangkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *